Donald Trump, Presiden terpilih AS, terus mengumumkan calon-calon untuk posisi kabinetnya, dan beberapa di antaranya telah memicu kekhawatiran besar terkait masa depan demokrasi Amerika. Pada Rabu, Trump mengumumkan bahwa ia mencalonkan Rep. Matt Gaetz dari Florida sebagai Jaksa Agung, sebuah langkah yang langsung menuai kontroversi.
Gaetz, seorang sekutu setia Trump di Kongres, saat ini berada di bawah penyelidikan Komite Etik DPR atas dugaan keterlibatan dalam perdagangan manusia dan hubungan seksual dengan seorang anak di bawah umur. Sebagai Jaksa Agung, ia hampir pasti akan menghentikan semua kasus hukum yang sedang dihadapi Trump, jika pencalonannya disetujui.
Gaetz juga dikenal sebagai salah satu tokoh paling vokal dalam menentang bantuan Amerika Serikat untuk Ukraina di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia sebelumnya memimpin upaya untuk mencopot Kevin McCarthy dari posisi Ketua DPR.
Meskipun pencalonan beberapa tokoh seperti Senator Marco Rubio untuk Menteri Luar Negeri atau Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional diperkirakan akan mendapat dukungan mayoritas di Senat, pencalonan Gaetz untuk Jaksa Agung menghadapi tantangan berat. Senator Chris Murphy dari Connecticut, anggota Komite Hubungan Luar Negeri dan Komite Kehakiman Senat, menyebut pencalonan Gaetz sebagai “momen peringatan serius bagi demokrasi Amerika.”
Murphy bahkan mengkhawatirkan skenario di mana Senat memilih untuk melakukan reses, memungkinkan Trump membuat penunjukan sementara tanpa persetujuan Kongres. “Itu akan menjadi akhir dari Senat Amerika Serikat,” tegas Murphy dalam wawancara dengan CNN. Menurutnya, jika Senat menyerahkan kekuasaan nasihat dan persetujuan, maka fungsi demokrasi akan hancur.
Selain Gaetz, Senat juga akan mempertimbangkan Pete Hegseth, tokoh dari Fox News, untuk posisi Menteri Pertahanan. Senator Chris Coons dari Delaware menegaskan bahwa peran Senat bukan hanya memeriksa kualifikasi kandidat tetapi juga integritas dan etika mereka. “Kontras antara Senator Rubio dan Perwakilan Gaetz tidak bisa lebih jelas dalam hal ini,” ujar Coons.
Di tengah gejolak politik di AS, Menteri Luar Negeri Ukraina, Andrii Sybiha, menyatakan bahwa Presiden Joe Biden berjanji untuk memberikan dukungan militer yang signifikan kepada Ukraina sebelum masa jabatannya berakhir. Setelah pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Sybiha mengonfirmasi bahwa bantuan militer dalam jumlah besar akan segera disalurkan.
Sybiha juga mengungkapkan bahwa diskusi dengan Blinken mencakup rencana serangan jarak jauh terhadap target militer di Rusia serta integrasi Ukraina ke dalam aliansi Euro-Atlantik. “Kami optimis dengan komitmen ini,” ujarnya dalam wawancara dengan media Ukraina.
Di tengah spekulasi bahwa Ukraina mungkin mengembangkan senjata nuklir jika dukungan AS berkurang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Heorhii Tykhyi, menegaskan bahwa Ukraina tetap berkomitmen pada Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). “Kami tidak memiliki, mengembangkan, atau berniat untuk memiliki senjata nuklir,” kata Tykhyi.
Komentar ini disampaikan sebagai tanggapan atas kekhawatiran global bahwa kemenangan Trump dapat mengurangi dukungan AS terhadap Ukraina, yang memicu spekulasi tentang potensi program nuklir Ukraina sebagai upaya mempertahankan kedaulatan mereka.
Pada Mei 1992, Ukraina bersama Rusia, AS, Belarus, dan Kazakhstan menandatangani Protokol Lisbon yang menyatakan komitmen mereka terhadap NPT sebagai negara non-nuklir. Namun, realisasi pengalihan hulu ledak nuklir tidak segera tercapai. Pada 1993, Ukraina dan Rusia menandatangani serangkaian perjanjian bilateral yang mengatur pelepasan klaim Ukraina atas senjata nuklir dan Armada Laut Hitam di Krimea, dengan imbalan pembatalan utang gas dan minyak senilai $2,5 miliar serta jaminan bahwa Rusia tidak akan menginvasi Ukraina.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina pada 2014 dan 2022 menunjukkan bahwa jaminan tersebut tidak dihormati oleh Kremlin. Perkembangan ini mempertegas bahwa kepercayaan pada perjanjian internasional dengan Rusia harus ditinjau ulang.
Artikel ini menyoroti pentingnya menjaga demokrasi di Amerika Serikat dan stabilitas global, terutama di tengah krisis yang sedang berlangsung di Ukraina. Semua mata kini tertuju pada langkah politik selanjutnya dari pemerintahan Trump dan bagaimana hal ini akan memengaruhi dinamika geopolitik dunia.