Kudakyv – Konten AI yang menampilkan keindahan Raja Ampat dalam format video sinematik telah mencuri perhatian warganet Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Video tersebut menampilkan laut biru jernih. Pulau-pulau karang berbentuk hati. Seekor lumba-lumba muncul saat matahari terbenam. Banyak yang terpukau dan menyebutnya karya visual luar biasa. Namun sebagian lain merasa ragu. Kebenaran video itu mulai dipertanyakan. Apakah benar itu hasil tangkapan kamera? Atau hanya visualisasi dari kecerdasan buatan? Dalam hitungan jam, diskusi pun menghangat. Warganet terbagi dua. Ada yang memuji, ada pula yang mengkritik keras pencipta kontennya.
Komdigi atau Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi langsung memberi pernyataan. Mereka menyebut video viral itu sebagai konten eksperimen dari komunitas kreator AI. Konten tersebut tidak dimaksudkan menyesatkan. Justru ingin membuka mata publik tentang teknologi baru. Namun sayangnya, banyak yang menyebarkannya tanpa label atau konteks yang jelas. Inilah yang menjadi persoalan. Video itu kemudian dianggap nyata oleh sebagian besar penonton. Komdigi menyarankan agar semua konten AI harus diberi label tegas. Tidak boleh ambigu. Masyarakat berhak tahu sumber konten yang mereka konsumsi. Informasi visual tak bisa dibiarkan tanpa penjelasan.
“Baca Juga : Jenis Obat Gangguan Mental: Penanganan Untuk Kondisi Gangguan Kejiwaan Bipolar”
Perdebatan mengenai etika mulai muncul. Banyak yang menyoroti efek konten AI terhadap ekspektasi masyarakat terhadap destinasi wisata. Raja Ampat adalah kawasan konservasi nyata. Jika harapan visualnya terlalu tinggi akibat konten palsu, kekecewaan bisa terjadi. Industri pariwisata pun terdampak. Apalagi jika kontennya tidak dibedakan dari dokumenter sungguhan. Komdigi menegaskan pentingnya edukasi digital. Publik perlu tahu bahwa konten AI bukan dokumentasi. Ini representasi visual yang dimanipulasi algoritma. Harus ada batas dan tanggung jawab. Bukan soal melarang teknologi, tapi mengatur pemanfaatannya. Tujuannya jelas: mencegah misinformasi sejak awal.
Komdigi juga menyebut pentingnya merangkul kreator AI lokal. Mereka adalah bagian dari ekosistem digital. Tapi mereka butuh arahan dan etika kerja yang jelas. Komdigi akan memfasilitasi dialog antara kreator dan regulator. Mereka juga menyiapkan pedoman visual digital. Termasuk rekomendasi label watermark untuk konten yang dihasilkan secara sintetik. Dengan begitu, publik tahu apa yang mereka tonton. Tidak ada niat membatasi ekspresi seni. Tapi Komdigi ingin keseimbangan antara kebebasan dan akurasi. Apalagi ketika kontennya menyangkut alam Indonesia. Semua pihak harus menjaga keaslian informasi visual. Sekecil apapun detailnya.
“Simak juga: Analisis Sri Mulyani Soal Ketidakpastian Ekonomi Global“
Pemerintah daerah Papua Barat merasa khawatir dengan tren ini. Mereka mendapat laporan bahwa banyak wisatawan menganggap visual AI sebagai kenyataan. Beberapa operator tur bahkan diminta menunjukkan “spot lumba-lumba” seperti di video tersebut. Ini jelas masalah. Jika dibiarkan, bisa merusak reputasi destinasi. Oleh karena itu, Komdigi bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata. Mereka akan merilis panduan promosi digital yang berbasis fakta. Visualisasi tetap boleh dilakukan, namun harus transparan. Kreativitas digital tak boleh menutupi realitas. Kejujuran konten adalah bagian dari daya tarik itu sendiri. Keindahan alam Indonesia tidak perlu dipoles berlebihan.
Komdigi juga akan memperkuat program literasi digital. Sekolah, kampus, dan komunitas akan diajak turut serta. Tujuannya bukan hanya mengenalkan teknologi. Tapi juga mengajarkan cara memilah informasi. Konten AI kini makin sulit dibedakan dari yang nyata. Maka kemampuan kritis jadi penting. Harus ada pemahaman tentang bagaimana konten dibuat. Masyarakat perlu tahu bahwa algoritma bisa menciptakan hal-hal yang tampak otentik. Tapi itu belum tentu faktual. Dalam dunia visual digital, ilusi bisa lebih kuat dari kenyataan. Maka, pendidikan jadi senjata utama melawan bias persepsi dan manipulasi digital.