Kudakyv – Transmigran seringkali menghadapi tantangan dalam bercocok tanam di wilayah baru. Kondisi tanah, cuaca, dan hama berbeda dari kampung halaman mereka. Banyak dari mereka tidak memiliki pengetahuan pertanian yang memadai. Beberapa hanya mengandalkan metode warisan tanpa menyesuaikan lahan. Di sinilah peran pandu tani menjadi sangat penting dan krusial. Mereka bukan hanya penasihat teknis, tapi juga pembimbing lapangan. Pandu tani hadir sebagai penghubung antara teknologi dan petani tradisional. Mereka membimbing dengan bahasa sederhana dan pendekatan praktis. Tak sekadar teori, mereka terjun langsung ke sawah dan ladang. Mereka mencangkul bersama, menanam bersama, dan memanen bersama petani. Ini membuat mereka dipercaya dan dihormati oleh komunitas transmigran. Kehadiran mereka mencegah kegagalan panen akibat salah metode. Bahkan, banyak transmigran menyebut mereka sebagai guru di ladang.
“Baca Juga : Mengenal Tradisi Budaya Pisungsung Jaladri Asal Yogyakarta yang Penuh Sarat Makna”
Pandu tani menjalani pelatihan khusus sebelum turun ke lokasi transmigrasi. Mereka dibekali pengetahuan agronomi, irigasi, dan manajemen lahan terpadu. Selain itu, mereka juga diajarkan komunikasi antarbudaya dan resolusi konflik. Karena sering kali transmigran berasal dari beragam latar belakang. Pendekatan personal menjadi senjata utama dalam membangun kepercayaan petani. Mereka melakukan kunjungan rumah dan berdiskusi dengan keluarga petani. Pandu tani juga menyediakan panduan bercetak untuk dibaca malam hari. Mereka membawa benih unggul dan memperkenalkan pola tanam rotasi. Banyak transmigran yang awalnya menanam satu jenis saja. Tapi setelah bimbingan, mereka mulai mencoba diversifikasi tanaman. Ini membantu pendapatan meningkat dan risiko gagal panen menurun drastis. Pendampingan ini tidak hanya dilakukan sekali, tapi berkesinambungan. Dalam satu musim, pandu tani bisa puluhan kali ke lahan petani. Hal ini menciptakan kedekatan emosional yang memperkuat kolaborasi lapangan.
Teknologi baru sering dianggap mahal dan sulit dipahami oleh petani tradisional. Namun pandu tani mengubah persepsi itu lewat pendekatan sederhana. Mereka memperkenalkan pupuk organik buatan sendiri dari kotoran ternak. Mereka juga memperlihatkan cara kerja alat tanam sederhana yang efisien. Banyak petani yang awalnya ragu mulai mencoba karena diajak langsung. Pandu tani tidak memaksa, tapi memberi contoh lewat demonstrasi lapangan. Misalnya penggunaan mulsa plastik untuk menjaga kelembapan tanah. Atau sistem tandon air buatan yang murah dan efektif di musim kemarau. Alat pertanian seperti transplanter juga dikenalkan pada skala kecil. Semua dilakukan bertahap agar tidak menimbulkan ketergantungan atau keterkejutan. Pendekatan ini membuat petani merasa nyaman mencoba hal baru. Perlahan tapi pasti, hasil panen meningkat secara signifikan. Bahkan beberapa transmigran mulai memasarkan hasil panen secara digital. Pandu tani membantu membuat akun media sosial untuk promosi produk.
“Simak juga: Presiden Perancis Emmanuel Macron Ancam China Untuk Jauhkan Korea Utara dari Ukraina”
Selain pendamping lapangan, pandu tani berfungsi sebagai penghubung ke instansi pertanian. Mereka menyampaikan kebutuhan petani secara langsung ke dinas terkait. Jika ada kekurangan pupuk, benih, atau pelatihan, mereka jadi garda depan. Mereka membantu petani menulis laporan kelompok tani yang dibutuhkan pemerintah. Dengan cara ini, kelompok tani transmigran mendapat akses lebih luas. Banyak program bantuan pemerintah akhirnya tepat sasaran berkat peran ini. Pandu tani juga membantu menyusun proposal permintaan alat pertanian ringan. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan dilibatkan dalam pengawasan distribusi. Ini membuat bantuan tidak salah sasaran atau dimonopoli segelintir orang. Kepercayaan komunitas terhadap pemerintah pun meningkat. Hal ini mempercepat pembangunan ekonomi di kawasan transmigrasi. Lebih dari itu, peran mereka menjadikan pertanian lebih inklusif dan berkelanjutan.
Seiring berjalannya waktu, perubahan mulai terlihat secara nyata di komunitas transmigran. Lahan tidur kini menjadi kebun produktif yang menghasilkan sayur dan buah segar. Pendapatan keluarga transmigran meningkat dua hingga tiga kali lipat. Anak-anak petani mulai bersekolah lebih tinggi dan berani bermimpi besar. Mereka tidak malu lagi mengaku anak petani, bahkan bangga. Ibu-ibu di desa mulai terlibat dalam kelompok tani wanita. Mereka mengolah hasil panen menjadi produk olahan seperti keripik atau selai. Ini membuka peluang ekonomi baru di luar aktivitas bertani biasa. Perubahan ini bukan semata karena bantuan finansial, tapi karena pengetahuan. Pandu tani menjadikan pengetahuan sebagai alat pemberdayaan sejati. Mereka tidak memberikan ikan, tapi mengajarkan cara memancing dengan tepat. Kemandirian dan solidaritas tumbuh kuat di antara para transmigran. Kini, desa yang dulu terisolasi perlahan berubah jadi pusat produksi pangan.