Kudakyv – Negara-negara Eropa kembali menyoroti program nuklir Iran. Kali ini, fokusnya bukan hanya soal pengayaan uranium tinggi, tetapi soal seberapa besar stok uranium yang benar-benar digunakan. Menurut laporan dari diplomat Uni Eropa, sebagian besar cadangan uranium Iran ternyata tidak aktif. Mereka menyebut Iran memiliki bahan mentah yang besar, tapi terbatas dalam kapasitas pemrosesan lanjut. Klaim ini memunculkan perdebatan baru soal ancaman sebenarnya dari pengayaan tersebut. Apakah Iran serius mengembangkan senjata nuklir, atau hanya menggunakannya sebagai alat tawar dalam diplomasi internasional?
Iran memang menyimpan uranium dalam jumlah yang mencemaskan. Namun laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menunjukkan hanya sebagian kecil yang diproses untuk pengayaan tingkat tinggi. Sisanya masih dalam bentuk mentah atau pengayaan rendah. Eropa menganggap ini sebagai bukti bahwa Iran belum benar-benar siap memproduksi senjata nuklir. Fasilitas pengolahan terbatas, dengan infrastruktur tua dan beberapa bagian rusak akibat sabotase. Iran membantah, menyebut semua fasilitas berjalan baik. Namun data satelit memperlihatkan aktivitas yang tak seintens masa lalu. Persediaan besar tak otomatis berarti ancaman besar. Proses dan teknologi jauh lebih menentukan.
“Baca Juga : Obat Batuk Sirup dan Anjuran Dosis yang Tepat Sesuai Usia Anak”
Negara-negara Barat mencurigai Iran memakai isu nuklir untuk menekan sanksi ekonomi. Setiap kali negosiasi terhambat, Iran kerap mengumumkan kenaikan level pengayaan uranium. Ini jadi taktik yang berulang sejak keluarnya AS dari kesepakatan nuklir pada 2018. Namun banyak pihak meyakini Iran sebenarnya tidak berniat langsung memproduksi senjata. Isu ini lebih ke arah strategi diplomatik. Tekanan dilakukan agar sanksi ekonomi dilonggarkan. Dengan cadangan uranium sebagai “aset”, Iran bisa menegosiasikan posisi tawar lebih tinggi di forum global. Ini membuat Uni Eropa berhati-hati dalam memberi reaksi yang terlalu keras.
Eropa tidak satu suara soal bagaimana menanggapi Iran. Negara seperti Prancis dan Jerman mendesak pendekatan keras, sementara Italia dan Spanyol memilih pendekatan diplomatis. Inggris, pasca-Brexit, mencoba memainkan peran netral. Ketidakharmonisan ini dimanfaatkan Iran untuk membagi fokus pengawasan. Eropa menyadari kesulitan ini. Namun mereka tetap sepakat bahwa pengawasan terhadap fasilitas Iran harus diperketat. Meski klaim stok tak terpakai cukup meyakinkan, potensi pengayaan lanjutan tetap ada. Ketidakpastian membuat Eropa tak bisa sepenuhnya tenang. Diplomasi perlu digencarkan, tapi pengawasan tidak boleh longgar.
“Simak juga: NATO Patuh Tekanan AS, Belanja Militer Tembus 5% PDB”
IAEA terus menjadi kunci pengawasan internasional terhadap Iran. Namun beberapa bulan terakhir, lembaga ini kesulitan mendapat akses penuh ke semua fasilitas. Iran menyatakan beberapa tempat adalah instalasi militer dan tidak relevan untuk diperiksa. Ini menimbulkan kekhawatiran besar. Tanpa akses penuh, sulit menilai seberapa jauh kemampuan nuklir Iran sebenarnya. Eropa mendorong Iran untuk kembali ke kesepakatan semula, termasuk protokol inspeksi mendadak. Iran belum memberi sinyal positif. Mereka menuntut pencabutan sanksi dulu sebelum membuka diri. Kebuntuan ini masih terus berlangsung, meski komunikasi antar pihak tetap berjalan.
Meski tegang, jalan diplomasi belum tertutup. Uni Eropa tetap mendorong pembicaraan baru. Mereka ingin menghidupkan kembali kesepakatan nuklir JCPOA. Iran pun mengisyaratkan kesediaan, asal mendapat jaminan ekonomi. Beberapa negara Arab ikut mendukung dialog, karena ketegangan ini berpengaruh ke stabilitas kawasan. Amerika Serikat belum terlibat aktif lagi, tetapi memantau dari dekat. Ke depan, kemungkinan kesepakatan baru tetap ada, namun prosesnya tidak cepat. Sementara itu, persediaan uranium Iran tetap diawasi. Tak semuanya terpakai, tapi tetap menyimpan potensi besar. Dunia masih menunggu bagaimana babak selanjutnya akan berjalan.